UNTITLED
“Harapan datang dengan sendirinya dan pergi juga dengan sendirinya. Dia pergi karena kenyataan berkata lain” - Edo
Rabu
sore,12 Februari aku duduk termenung sendiri di tempat yang paling nyaman bagi
hidupku. Sendiri. Aku sudah terbiasa menyendiri semenjak beberapa tahun lalu
aku merasa kecewa dengan yang namanya sebuah pertemanan. Namun,aku telah
terbiasa dengan yang namanya kesendirian. Di dalam kesendirian aku menemukan
sebuah kenyamanan. Kesendirian membawaku dalam sebuah kehidupan dimana aku bisa
bebas mengungkapkan segala perasaanku. Tawa,tangis bahagia,tangis haru semua
menjadi saksi dalam kesendirianku.
Di
dalam sebuah ruangan yang gak asing lagi bagiku,dimana aku bisa bebas
mengekspresikan emosiku,di dalam kamar ini di temani gitar yang sudah berusia
kurang lebih 3 tahun dan sebuah laptop yang masih mulus sudah biasa menjadui
teman karibku. Aku bercerita tentang bagaimana kehidupanku. Kehidupan yang
biasa-biasa saja bagiku,namun bisa saja menjadi luar biasa bagi orang lain.
Namaku Edward,namun biasanya aku dipanggil Edo. Dengan postur tubuh yang ideal
bagi seorang pria,rambut dengan belahan samping,dan kacamata yang selalu aku
pakai,aku mendapat julukan “kutu buku” dari teman-temanku. Namun,tak sesuai
julukanku,aku orang yang sama sekali membenci buku. Aku tidak kuat lama-lama
‘bersentuhan’ dengan buku. Diusiaku yang baru menginjak 20 tahun ini,aku
berusaha untuk menjadi pria yang dewasa salah satunya dengan berpola pikir
layaknya pemimpin yang membela rakyatnya tanpa mau mengorbankan seorangpun dari
rakyatnya.
Kuliah
sudah menjadi kegiatan rutin buatku. Dengan berbekal tas kecil berisikan satu
bolpoin dan satu buku saja aku sudah berani memasuki kelas. Tidak ada yang
istimewa di kelas ini. Dengan bangku-bangku yang masih tersusun rapi,papan
tulis putih yang masih bersih,dan AC yang selalu menyala tiap kali aku masuk
kelas. Begitupula dengan teman-temanku,tidak ada yang istimewa,mereka selalu
bercanda gurau dengan teman lainnya,ada yang tampil menyendiri,dan adapula yang
selalu rajin memasuki kelas lebih awal hanya untuk mendapat tempat duduk paling
depan. Tidak ada yang istimewa,kecuali satu. Cewek yang selama ini aku kenal
dan sudah menjadi temanku mengobrol baik di kelas maupun di dunia maya,dia juga
yang membuatku memulai “gaya hidup” yang baru. Cella,dia biasa dipanggil
demikian. Dengan wajah putih,pipi yang ‘chubby’,gaya
yang sederhana dan yang bikin aku makin suka sama dia adalah pola pikirnya yang
‘lemot’. Udah basi jika seorang cowok
jatuh cinta dengan seorang cewek,kemudian dia mengatakan cewek ini beda dengan
cewek lainnya. Tapi memang demikian kenyataannya. Dia beda dengan cewek
lainya,entah apa yang membuatnya berbeda di mataku tapi dia sekarang sudah
menjadi kuatku untuk bertahan dari kenyataan hidup.
Pagi
ini terasa beda dari pagi biasanya. Cuaca yang berawan membuatku gak semangat
memasuki kelas kuliah. Namun Cella menyapaku dan menanyakan kabarku. Tiba-tiba
suasana hati berubah layaknya api yang baru saja membara. Aku baru saja
mendapat semangat baru. Aku lalu membalas sapaanya dan kita memasuki kelas
berasama-sama. Saat di kelas dia biasa duduk dengan teman akrabnya,begitu juga
denganku. Berjam-jam dilalui,akhirnya kelas hari ini telah usai. Aku berencana
mengajaknya makan di kantin kampus kami yang baru saja selesai direnovasi.
“Hai
Cell,bentar lagi kamu langsung pulang atau gak? Makan bareng di kantin yuk!”
“Wah,sorry
banget nih,Do. Aku ada janji sama temenku. Sorry ya”
“Hahahaha....Oke
Cell,no problem!”
Sesaat itu dia langsung
pamit dan pergi. Ah,mungkin memang belum waktunya. Mungkin lain kali aku bisa
habiskan waktu berdua hanya dengan Cella. Gak mau berlama-lama aku segera
pulang. Sama seperti rutinitasku,aku selalu menghabiskan waktuku di dalam
kamar,di depan laptop,sambil memainkan gitar. Memang bosan jika hanya melakukan
hal-hal bodoh ini tapi aku bukan tipe anak yang gampang bergaul kalo belum
menemukan teman yang belum benar-benar cocok. Aku ingat jika ada tugas kuliah
tadi siang. Aku bukan tipe anak yang rajin. Cella,dia orang yang terpikir
pertama kali ketika aku mengingat tugas. Gak ada salahnya kalo aku bertanya
kepada dia,sekaligus aku bisa mengajak ngobrol dengannya.
“Hai
Cell,kamu udah kerjain tugas dari Bu Lia belum?”
“Waduh,ada
tugas ya? Aku aja ga tau”
“Ada
Cell,dari halaman 45-47. Wah,kamu pergi-pergi terus sih”
“Hahahhaa..iya,nanti
kalo udah nyampe rumah aku cek ya”
“Iya
Cell,kabari aku ya. Hati-hati juga kamu. Have fun”
“Oke”
Cewek emang
begitu,selalu jual mahal dan gampang buat cowok penasaran. Berjam-jam aku
tunggu-tunggu jawaban dari Cella,hingga larut malam aku masih menunggu dan
akhirnya aku tertidur.
Keesokan
harinya aku sengaja datang lebih pagi untuk mencontek tugas dari temanku. Hal
buruk yang sudah menjadi kebiasaan bagi anak-anak jaman sekarang. Saat kelas
dimulai aku langsung mencari Cella,ternyata dia duduk di bangku belakang
bersama teman-teman akrabnya. Sama seperti yang kubilang tidak ada yang
istimewa saat pelajaran di dalam kelas ini,hanya saja keberadaan Cella yang
membuatku menjadi lebih semangat. Saat pulang kuliah Cella tampak terburu-buru
entah ada masalah apa. Lantas aku juga langsung keluar dan ingin menanyakan
masalah tugas kemarin,tetapi ternyata dia sedang asik mengobrol bersama Fandy.
Fandy adalah teman sekelasku dan Cella. Kami bertiga sama-sama duduk di jurusan
yang sama. Fandy orangnya baik,biasanya dia selalu bersama-sama dengan Cella
dikarenakan mereka sudah teman akrab semenjak Masa Ospek. Oh ya,aku juga baru
inget Fandy ini juga teman cowok pertama yang aku ajak kenalan ketika Ospek.
Dia orangnya enak diajak ngobrol. Aku gak tau ada hubungan apa sebenarnya
mereka berdua. Namun,ada hal yang bikin aku penasaran selain karena mereka
selalu bersama,keliatannya Cella juga menikmati obrolan-obrolan dan kebersamaan
dengannya. Sesaat itu juga aku ingin langsung mencari tau. Aku gak berani
menanyakannya langsung kepada Cella begitu juga dengan Fandy. Alhasil aku
lagsung mebuka laptop dan mencari jawaban atas kebingunganku dimana lagi kalo
bukan lewat twitter atau facebook Cella. Udah 30 menit aku mencari tahu,namun
nol hasilnya. Cella ternyata bukan cewek yang aktif di media social. Twitter
yang paling baru dia update 4 bulan yang lalu. Facebook dia update 1 tahun yang
lalu. Aku hanya bisa terdiam dan menyisakan tanya-tanya dalam pikiranku.
Hari
berganti minggu dan minggu berganti bulan. Begitu juga dengan kehidupan,stranger become someone and someone become
stranger. Roda kehidupan tidak bisa
kita hindari. Akhirnya aku mulai dekat dengan Cella. Dia selalu cerita-cerita
masalahnya,tidak hanya masalah pribadi tapi juga dengan masalah keluarganya.
Dengan demikian tidak ada lagi yang namanya saling menutupi. Aku juga sering
curhat-curhat ke dia hingga pada suatu malam aku menanyakan pertanyaan yang
selama ini diam di pikiranku.
“Cell,kamu
sama Fandy gimana? Baik-baik aja?”
“Ha?
Maksudmu apa?”
“Kamu
sama Fandy udah jadian kan? Kalian lho mesti deket”
“Hahaha..ya
enggaklah. Kita cuma temanan doang.”
“Oh
ya? Kirain kalian udah pacaran.”
“Kenapa
emangnya,Do? Kepo ya? Hahaha”
“Iya,aku
kepo. Kepo banget malah kalo sama kamu”
Sebenernya dia bukan
cewek sekaku yang aku bayangin. Dia orangnya asik diajak cerita-cerita. Dia
juga orangnya suka becanda. Cuma yang bikin aku sayang sama dia,sifatnya yang
“lemot”. Iya sayang,cuma aku belum berani untuk mengatakannya.
Suatu
hari aku menanyakan kabarnya. Ternyata dia sakit. Aku rasa cowok manapun kalo
udah sayang sama seseorang pasti mau ngorbanin apapun kan demi orang yang dia
sayang. Sama aku juga demikian. Langsung aku belikan makanan
kesukaannya,brownies tiramisu dan aku gak lupa beliin dia vitamin. Sesegera
mungkin aku datang kerumahnya untuk memberikan brownies dan vitamin tadi.
Sesekali aku liat mukanya yang gak pucat melainkan dia bisa tersenyum. Pikirku
syukurlah dia sudah agak baikan.
“Makasih
banget lho. Ngapain sih sampe kamu repot-repot kayak gini?”
“Aku
merasa ga repot kok. Brownies sama vitaminnya dimakan ya?”
“Hahahha...iya
makasih banyak ya”
“Get
well really soon,Cell”
“Thankyou,Do”
Sesekali dalam
pembicaraan kami,dia tampak senang dengan apa yang aku kasih barusan. Aku harap
sih bisa jadi “obat” biar dia cepet sembuh. Yah,namanya pengorbanan pasti
sejalan dengan harapan lah. Dan aku harap dia ga cuma jadiin aku seorang teman.
Keesokan
harinya aku tanya kabarnya dan untungnya dia sudah sehat. Sama seperti biasa
aku slalu berbasa-basi meskipun lewat chat doang. Sama seperti biasanya dia
bisa buat aku tertawa-tawa sendiri dan aku berusaha buat dia tertawa-tawa
sendiri. Udah jadi kebiasaan tiap sepulang kampus untuk chat dia,entah dia
bosan atau enggak yang jelas aku berusaha ngajak ngobrol dia dengan topik baru
supaya dia gak bosan. Suatu hari aku menanyakan suatu hal kepada Cella
“Cell,aku
ngerasa aku nyambung lho sama kamu. Kamu enak kalo diajak cerita-cerita”
“Iya,Do.
Aku juga enak ngobrol sama kamu. Kamu orangnya asik juga ternyata”
“Kalo
mau curhat-curhat lewat aku aja. Aku buka klinik curhat. Gratis kok!”
“Hahahaha..Apaan
sih,Do! Mana ada klinik curhat.wkakaka"
“Trus
kamu sama Fandy gimana? Sering curhat-curhat?”
“Sering
sih enggak. Masih seringan sama kamu,Do”
“Lho
kenapa? Bukanya kalian deket?”
“Dia kalo diajak curhat ga seasik kamu,Do.
Kamu orangnya bisa ngasih saran,masukan,sekalian kamu bisa ngecomfort aku”
“Oh
ya? Masa? Ya,namanya temen bukannya harus saling bisa bantu ya?”
Jawaban dari Cella tadi
masih menanyakan tanda tanya besar bagiku. Aku bukan tipe orang yang gampang
percaya. Aku melihat sendiri dan merasakan sendiri kedekatan Fandy dengan Cella
sudah lebih dari layaknya sepasang sahabat,lebih dari sepasang manusia yang gak
hanya berbagi tawa dan berbagi kesedihan. Mungkin saja mereka berbagi cinta.
Tiap hari aku selalu menanyakan kabar Cella. Aku slalu memberinya perhatian,aku
slalu bercanda dengannya,tapi tak hanya itu saja aku seolah-olah sudah
menganggapnya sebagai pacarku sendiri. Bahkan lebih dari sekedar pacar,dia
sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Layaknya seorang kakak pria yang harus
melindungi adik perempuannya,aku gak pengen dia kenapa-napa.
Hingga
akhirnya pada suatu hari,aku tidak bisa berlama-lama menyimpan perasaan yang
sebenernya ingin kukatakan sejak lama. Aku tidak bisa berlama-lama diam,jatuh
cinta sendirian,dan hanya bisa melihat keadaan yang tidak sesuai dengan
harapanku. Hingga pada malam hari,aku meminta bantuan pada teman karib Cella
untuk membantuku mengatakan perasaan padanya. Rencana ini sudah kupikirkan
jauh-jauh hari dan sudah kupikirkan matang-matang. Tepat hari Valentine,pukul
tujuh malam aku sudah berada di depan rumahnya. Hanya dengan berbekal satu bucket bunga dan gitar kesayanganku,aku
mengutarakan perasaanku. Lagu yang memang sengaja aku ciptakan buatnya
kunyanyikan mesti aku tau suaraku tidak sebagus penyanyi favoritnya. Tapi apa
peduliku? Aku tetap bernyanyi sampai dia keluar dari rumah. Mungkin Cella tidak
tahan dengan suaraku yang jelek atau dia menyadari kalau aku sudah ada di
bawah. Akhirnya dia membuka pintu dan menyapaku,
“Edo,kok
kamu nyanyi di depan rumahku? Ngapain?”
“Cel,aku
sebenernya cuma mau ngasih bunga ini ke kamu. Aku juga pengen jujur sama kamu. Sebenernya
udah lama aku nyimpen rasa sama kamu. Aku juga udah lama pengen bilang ini,cuma
aku baru berani sekarang. Aku berharap betul sama kamu. Apa kamu mau hancurin
harapan itu atau kamu mau wujudin harapan itu?”
“Tunggu,Do!
Maksud kamu apa?”
“Maksudku.....Aku
sayang sama kamu. So,will you be my girlfriend?”
“Do,Sorry
banget.Sorry! Aku ga bisa. Sampe sekarang aku masih trauma sama yang namanya
pacaran. Aku udah sakit hati semenjak aku SMA. Aku takut gagal lagi. Sorry
ya,Do”
Aku hanya bisa
diam,menahan malu,sekaligus pilu. Aku ga tau harus berkata apa lagi. Kakiku
seolah-olah kaku. Ingin segera beranjak dari depan rumahnya,namun aku hanya
bisa diam menatap mata Cella. Mataku seolah-olah berat untuk berkedip. Cella
menyuruhku untuk segera pulang dan beristirahat. Sesekali tampak mimik bersalah
yang dikeluarkan dari wajahnya. Aku tidak tahu,besok atau lusa atau bahkan
seterusnya dia mau mengajakku mengobrol atau tidak.
Sama
seperti seseorang yang menginginkan kasih sayang dari orang lain,namun dia
hanya bisa melihat semua itu palsu belaka. Sama seperti cinta yang selalu
menaruh harapan disetiap waktu,namun harapan pergi begitus aja karena kenyataan
tidak mengijinkan. Aku hanya bisa termenung,jika seandainya waktu tidak
mengijinkanku untuk bertemu dan menatap wajahnya lagi aku hanya bisa berdoa
pada Tuhan untuk tetap selalu menjaganya dan selalu membuat dia bahagia. Aku hanya
bisa berkata sendiri dan seolah-olah kenyataan menertawakanku. Harapan datang sendirinya dan pergi juga
dengan sendirinya. Dia pergi karena kenyataan berkata lain
Wow. Impressive (y)
BalasHapus