Melepaskanmu

“Ada atau gak ada aku hidup ini akan terus berjalan. Aku dan kamu awalnya punya kehidupan masing-masing. Kita pasti bisa saling melupakan dan melepaskan sama seperti saat kita belum mengenal satu sama lain” – Edo

Sabtu,23 Mei 2014.

Masih seperti biasanya. Aku selalu termenung menatapi hujan dari dalam mobilku. Kuamati butiran-butiran air hujan yang jatuh mengenai kaca mobilku. Aku suka suasana seperti ini. Entah mengapa. Perkenalkan namaku Christopher Edward. Teman-teman serta keluargaku biasanya memanggilku dengan Edo. Aku keturunan bangsawan,eh salah maksudnya aku keturunan bule. Papaku keturunan Jerman sementara mamaku asli dari Sunda. Saat ini aku belajar di salah satu Universitas swasta terkenal di Jakarta.

“Do,lu dicariin sama Pak Budi,tuh” terdengar suara keras memanggilku. Ah,ternyata itu Rey. Reynaldi,teman baikku semenjak....SD. Iya,SD mulai dari mukanya yang imut-imut sampe sekarang mukanya kayak om-om tua yang punya istri banyak.

“Dimana Rey?” langsung aku membalasnya dengan suara kencang,seolah-olah tak mau kalah.

“Di ruangannya lah. Buruan! Keliatannya penting.”
Rey memang anak yang selalu melebih-lebihkan suasana. Makanya aku sudah terbiasa dengan perkataanya seperti tadi. Aku berjalan santai dan kuketuk pintu ruangan Pak Budi.
“Masuk.” Terdengar suara lantang dari dalam.

“Permisi pak. Mencari saya?”

“Ah,iya Do benar! To the point aja ya,Do. Jadi begini Minggu depan fakultas kita dapat kesempatan pertukaran pelajar dari Universitas Heidelberg dari Jerman. Nah,Bapak sengaja milih kamu selain kamu jago bahasa Jermannya,kamu juga punya prestasi di Jurusan kamu.”

“Ehm..okey pak,tapi berapa lama dan sama siapa ya?”

“Kurang lebih 2 minggu dan tenang kamu tidak sendiri bapak sudah mencari teman untuk kamu. Dia cewek lho.” Ucapnya sambil berbisik kepadaku.

Disela-sela pembicaraan kami terdengar ketukan pintu dari luar.

“Masuk. Oh,ternyata kamu Gita. Edo,kenalin ini Gita teman yang akan menemanimu pergi ke Jerman nanti. Gita ini Edo.”

Dan saat pertama kali aku melihat Gita,aku sudah mengira dia cewek yang cuek,judes dan cranky.

“Semoga kalian cepat akrab dan bisa bawa nama baik universitas kita di sana. Minggu depan tiket
 keberangkatan kalian sudah bisa kalian ambil di kantor saya”

“Danke,Sir” sahutku.

“Gerne” jawab Pak Budi.

Aku segera meninggalkan ruangan Pak Budi karena ada kelas pengganti. Langkahku terhenti karena suara arogan yang memanggilku.

“Edo..edo..edo,jadi lu yang namanya Edo? Yang dibilang cowok keren keturuan bule di fakultas teknik?” Gita memanggilku dengan nada yang sok arogan.
Sudah kuduga dan benar ternyata dia cewek cuek,arogan,dan cranky. Gayanya sudah semacam senior yang mengospeki mahasiswa baru.

“Kalo keturunan bule sih iya. Kalo keren. I don’t think so. Udah ya gue keburu ada kelas” balasku dengan cuek.

Seminggupun berlalu,sesuai dengan janji Pak Budi,tiket keberangakatanpun sudah ada ditanganku. Hal yang paling menjengkelkan saat kita akan pergi jauh ialah packing. Untungnya aku sebagai cowok gak terlalu ribet dengan yang namanya packing.

Keesokan harinya aku sudah dijemput dengan mobil elf kampus untuk menuju bandara. Pak Giman,sopir yang selalu sibuk kemana-mana saat urusan penting kampus menyapaku dengan hangat,

“Pagi mas Edo,sudah siap?” sapanya sambil membukakan pintu

“Sudah pak” balasku sambil tersenyum

Saat naik kedalam mobil aku terkejut ternyata Gita sudah ada di dalam. Gayanya semacam badgirl sambil mengunyah permen karet dan asik memainkan gadgetnya. Kalo dia wanita terakhir di muka bumi ini,aku gak bakal mau sama dia. YAKIN!

Soekarno – Hatta airport,4 Juni 2014,pkl 13.15

“Akhirnya take off juga. Ntar bangunin gue ya kalo udah sampe.” Ucap Gita.

“Oke bos!” jawabku

“I was there for you in your darkest times. I was there for you in your darkest night” – Maps,Maroon 5

Aku suka dengan karakter suara Adam Levine dari Maroon5. Kalau ada fans maroon5 garis keras se Asia,mungkin aku salah satunya. Tak lama earphone kiriku ditarik oleh seseorang,dan ternyata itu Gita. Aku bertanya dalam hati,apa salahku ke Pak Budi,kenapa aku bisa berangkat ke Jerman sama dia.

“Gak bisa tidur gue. Gue pengen dengerin lagu.”

“Kenapa lu gak pake punya lu sendiri?” sahutku jutek.

“Gue pengen dengerin lagu selera lu. Dan selera kita sama. Maroon5” jawabnya

“Oh.” Jawabku singkat mengiyakan supaya percakapan ini cepat selesai.

“Oh,ya kita belum kenal dekat kan? Nama gue Brigitta Cynthia. Gue biasanya di panggil Gita. Dulu waktu semester 3 gue pindah dari Semarang. Ya,lu tau sendirilah kalo kerjaan bokap ada dimana-mana pasti sekeluarganya disaranin pindah juga.”

Ternyata dibalik sifatnya yang jutek dan cranky itu dia masih enak buat diajak bicara dan saking asiknya bicara akhirnya kita membicarakan hal yang lebih pribadi.

“Hahahaha,jadi lu sampe sekarang belum punya cewek gara-gara lu bingung mau pilih yang mana? Lu sih kegantengan. Makanya punya muka tuh jelekan dikit” candanya sambil mencubit pipiku.

“Ye..bukan gitu kali,Gi. Gue nya sih mau aja punya cewek cuma...”

“Cuma belum ada yang sesuai sama selera lu?”

“Exactly! Itu salah satunya. Salah duanya karena gue masih belum bisa bagi waktu antara karir sama waktu buat PDKT. Ya lu tau sendirilah waktu buat PDKT sama cewek itu paling menyita buat gue,apalagi gue masih harus ngurusin kerjaan” jawabku santai

“Oh,jadi lu udah kerja? Kalo boleh tau kerja apa?” tanya Gita dengan nada penasaran.

“Event organizer” jawabku singkat

“Oh.Udah mau landing,nih. Finally,Berlin we’re come!” seru Gita

Aku sudah berkali-kali ke Jerman bersama keluargaku tapi rasa bosan tidak pernah ada di dalam benakku. Mulai dari suasananya,udaranya,sampai panorama-panorama kotanya yang bisa membautku begitu addicted dengan kota ini. Aku gak menyangka ternyata sesampainya di bandara,pihak Universitas Heidelberg sudah menjemput kami.

“Danke für die Kommissionierung uns, Herr! Freut mich, dich kennenzulernen” sapaku dalam bahasa Jerman.

“Gerne, lassen Sie mich unter euch zum Resort” balasnya dalam Jerman.

Tampak wajah Gita yang melongo mendengar percakapan kami.


“Do,lu jangan pake bahasa planet lain lah. Gue kagak ngerti” ejeknya

“What? Planet lain? Kalo mereka ngerti bahasa lu barusan lu bakal langsung di deportasi dari sini,Gi. Beware! Hahahaha” jawabku

“Sorry,sir. Could you speak english?” tanya Gita kepada sopir.

“Sure,I can!”

“Tuh kan gue bilang juga apa,Do. Gak usa sok-sokan pake bahasa planet lain lah.”

“Oke deh bos,gua ngalah”

Then,finally. Kita tiba di tempat penginapan. Lebih tepatnya ini semacam asrama milik Universitas Heidelberg. Bangunannya kuno tapi desain arstitekturnya yang keliatan futuristik. Aku dan Gita terpana melihat Universtias yang sebesar ini. Meskipun seringkali ke Jerman tapi aku belum pernah melihat universitas sebesar ini.

“Welcome to Heidelberg University. May I help you to bring your stuffs?”

“eh..ehm,ok..kay” Jawab Gita terbata-bata.

“Ok,let’s go to your room.”

Sesegera kami meninggalkan halaman depan untuk menuju kamar kami. Gita terlihat sangat excited.

“Gi,inget kata Pak Budi. Kita kesini bukan buat vacation. Kita disini buat belajar,dapet ilmu. Lu jangan keasikan sama hal-hal baru yang ada disini.”

“Iya cerewet! Ya udah gue masuk kamar gue dulu. Mau mandi!”

Kamarku dan kamar Gita bersebelahan,hal ini memudahkan kita kalo seandainya kita ada perlu. Gita,cewek tomboy yang kusangka jutek ternyata bisa menarik perhatianku. Tapi aku gak boleh menelan ludahku sendiri. Aku harus fokus sama belajar dan karir. Kita kesini cuma untuk belajar. Forget Gita!

“Excuse me, you've been waiting in the meeting room”,suara lantang memanggil dari bali pintuku.
Sesegera aku berganti pakaian dan merapikan penampilanku. Ternyata pertukaran pelajar disini tidak seperti yang kubayangkan. Tidak ada suasana kelas,suasana dosen mengajar,ataupun tidak ada teman-teman dari negara lain yang ikut pertukaran pelajar ini. Suasana ini lebih tepatnya bisa dibilang meeting,presentasi,diskusi ataupun semacamnya.

Berhari-hari aku dan Gita melewati ini dengan lancar. Dan akhirnya tiba saatnya untuk kembali ke Indonesia. Suasana Jakarta yang aku rindukan,masakan rumah,serta suasana macet Jakarta.
Selama di pesawat Gita tidak berhenti mengobrol. Dia sangat cerewet. Hal-hal sekecil apapun dariku,dia ingin mencari tahu. Semacam detektif yang melakukan interogasi.

“Do,kalo kita udah balik nanti,kita masih tetep bisa ngobrol gak ya?”

“Bisa gak ya? Hahahaha. Menurutmu?”

“Ehm,aku sih pengennya tetep bisa ngobrol. Kamu orangnya enak diajak ngobrol,Do”

“Hahaha. Emang orang lain ga enak dibuat ngobrol sama lu?” sahutku

“Ih,bukannya gitu,lu itu....ah tauk deh!” balasnya jutek.

“Ciye ngambek nih ye..oh ya,kita belum sempet tukeran nomer atau apapun ya?”

“Iya nih,gue minta nomer lu dong,Do. Sama LINE deh. Hhehe” jawabnya sambil menyerahkan Hpnya kepadaku

“Nih,ntar kalo lu udah sampe rumah call gue ya. Gue tunggu!” jawabku
Entah apa yang ada dipikiranku sekarang,apa aku sudah bisa dibilang jatuh cinta? Jika iya,apa aku harus melawan diriku sendiri untuk tetep menutup diri demi karirku ini? Jika menghentikan perasaan semudah kita mengucap cinta,mungkin sekarang aku sudah tidak berharap pada Gita. Ah,entahlah...perasaan yang masih menjadi misteri.

Jakarta,11 Juni 2014.

Aku sudah kembali ke Indonesia. Akhirnya aku bisa merasakan hangatnya kasur sendiri. Segera aku bersih-bersih diri dan hendak beristirahat.

“I'm not a fortune teller
I won't be bringing news of what tomorrow brings
I'll leave that up to you” – Fortune Teller,Maroon5

“Astaga,apalagi sih ini?” gerutuku dalam hati.

Aku mengangkat HP ku dan menjawab panggilan nomor tak dikenal ini.

“Hallo,Do. Gue baru nyampe nih. Baru kelar mandi. Lu gimana? Udah nyampe juga kan?”
Ternyata Gita. Aku lupa kalau aku tidak minta nomer telponnya.

“Hei,iya gue udah nyampe baru kelar mandi juga”
Percakapan panjangpun terjadi. Orang yang tadinya capek,sekarang malah kelihatan bugar seperti habis bangun tidur. Dan tanpa sadar aku mnegucapkan,

“Gi,besok jalan bareng yuk! Gue tau restoran baru yang enak”
Mampus! Aku keceplosan. Gerutuku dalam hati.

“Boleh. Jam berapa? Gue ke rumah lu deh sekalian gue pengen kenalan sama bokap nyokap lu”
Perasaanku saat ini rada canggung. Kita yang baru kenal tapi sudah minta dikenalin sama orang tua. Aku terlalu negatif thinking kepada Gita. Aku yang awalnya mengira dia sombong,jutek,cranky ternyata dia punya rasa perhatian begitu besar. Gita,buatku sekarang dia benar-benar love-able banget. Meskipun dia tomboy dan tidak sesuai kriteriaku tapi sifatnya itu yang membuat hatiku seolah-olah dibuat buta.
Keesokan harinya,aku sengaja bangun rada siang. Dan setelah aku turun dari kamar,aku terkejut karena Gita sudah ada di ruang tamu bersama mama papaku.

“Gita,lu kok udah di sini? Kok lu gak ngabarin?”

“Surprise,bro!” jawabnya santai

“Edo,come here. Lihat mamamu udah begitu akrab sama Gita” sahut papaku
Entah kenapa dua orang wanita yang begitu pertama kali dipertemukan sudah langsung begitu akrab. Apa wanita ini punya syndrome keakraban yang lebih tinggi dari pada pria? Ah,nevermind!

“Yuk cus. Keburu sore ntar.” Ajakku kepada Gita.

“Okey deh. Om tante,aku pergi dulu ya. Aku pinjem Edo-nya” pamit Gita kepada papa mamaku

“Pa,ma.. Ich ging zunächst” pamitku kepada papa mamaku

“Wih,gila..lu sama bokap nyokap juga bicara bahasa Jerman?” katanya terkagum-kagum

Jalanan ibukota sore itu terasa seperti biasanya. Macet. Ini membuatku semakin lama bersama Gita di dalam mobil.

“Eh,ngapain lu matiin? Gue suka lagu ini. All of me-John Legend” ucap Gita begitu lantang

“Gi,gue mau tanya. Kalo gue suka sama orang. Apa itu salah? Gue masih bingung karena gue takut sama yang namanya harapan palsu”

“Ngapain lu mesti takut? Lu itu cowok. Lu mesti gentle buat ngadepin kenyataan apapun.” Jawabnya yang sok bijak

“Iya,gue tau. Cuma gue belum siap buat sakit hati.”

“Terus kalo lu belum siap sakit hati,kenapa lu siap buat jatuh cinta? Komitmen terbesar oralng jatuh cinta itu sakit hati”

Entah kenapa jawaban Gita tadi seolah-olah bikin aku merinding. Bukan karena jawabannya yang keren tapi dia terlihat sok bijak macam Mario Teguh.

“Lu sok bijak ah. Najis! Hahahah” jawabku canda

“Ye,dibilangin. Terserah lu deh. Bytheway,lu suka sama siapa emang?”

“Gue..Ah nevermind,Gi!”

“Siapa? Lu itu ya..gak usa sok-sokan misterius gitu. Sok banget sih”

“Ouch..iya-iya gue jawab” responku teriak karena cubitannya di lenganku

“Gue suka sama lu. Oke,it sounds strange but..lu tau ga sih selama kita ke Jerman itu gue ngerasa kalo sifat-sifat lu bisa menang dari rasa tertutup gue sama cewek. Gue ngerasa tiap kalo ngobrol sama lu,gue tenang. Pikiran gue bisa fresh kalo denger ceramah dari lu. Ya kaya barusan ini.”

“Nah,makanya jangan bilang gue sok motivator. Ke makan omongan sendiri kan lu?” ejek Gita kepadaku.

“Jadi,tanggepan lu? Lu mau...”

“Ssttt..udah liat aja ntar ke depannya. Yang jelas sekarang kita jalanin apa yang mesti kita jalanin sekarang.”

Gita memang paling cerdas untuk menyela kata-kata. Sekali lagi,aku dibuat terkesan dengan sifat misteriusnya itu. 
Minggu demi minggu sudah berlalu,bulan demi bulan sudah berlalu. Dan akhirnya momen yang tidak pernah aku duga akhirnya datang. Di dalam kafe yang ramai,di tengah guyuran hujan deras,dan di sudut jalan Ibukota,aku mendengar dengan telingaku sendiri. Suara lembut yang bikin suasana ini menjadi kian sejuk.

“Do,gue sebenernya juga suka sama lu. Lu dewasa banget menurut gue. Gue bisa nyaman kalo lagi deket lu. Waktu gue bete sama hidup gue,lu selalu ada buat gue. Gue ngerasa lu itu gak Cuma sekedar temen buat gue. Lu itu partner,sahabat,kakak,dan gue udah anggep lu cowok gue sendiri. Ich liebe dich,Do”
Aku hanya terdiam terpaku menatap kedua matanya. Perasaanku sangat sejuk. Aku tidak bisa berkata-kata. Aku bertanya dalam diriku sendiri,inikah mimpi? Jika iya,segera bangunkan aku dari mimpi ini.

“Ouch.” Lamunanku terhenti

“Kok diem aje lu? Jawab,Do”

“I love you more,Brigitta Cynthia” jawabku lantang.

Hari itu begitu menyejukkan bagiku. Jika momen hari itu bisa aku abadikan di dalam video mungkin sudah aku rekam dan gak akan pernah aku hapus. Tanpa kusadari hari jadian kami bertepatan dengan hari ulang tahunku. 27 Juli 2014. Ini merupakan kado terindah  yang tak akan pernah aku lupakan. Hari demi hari berlalu,bulan demi bulan juga kita lewati bersama. Terkadang kami juga pernah melewati masalah bersama tapi berkat kedewasaan dan komitmen hubungan kita,masalah-masalah kita selesai begitu saja.
Hingga pada akhirnya di bulan yang kesembilan. Aku masih ingat hari itu,hari dimana kenyataan pahit yang aku terima.

“Kamu harus sering-sering istirahat. Kalo tidak begitu penyakitmu tambah parah.” Saran Dokter Ryan.

“Iya,Dok. Saya selalu usahakan.” Jawabku tenang.

“Kamu selama ini jangan keluar-keluar dulu ya. Minum obatnya.” Ujar Dokter Ryan.
Aku juga belum tau tentang penyakitku ini. Dokter juga belum berani memberi kepastian tentang penyakitku ini. Yang jelas aku hanya bisa menjaga diri dan tetap merahasiakan penyakitku ini kepada mama papaku,teman-temanku,terutama Gita. Yang jelas aku hanya bisa berakting sehat di depan mereka semua. Aku takut aku hanya menyusahkan mereka.

“Do,besok kita jalan yuk. Mumpung libur kita habisin waktu full time buat jalan-jalan ya?” ajak Gita dengan semangat.

“O..o...key” jawabku terbata

“Kamu kenapa sih? Dari tadi kamu ngelamun terus. Kalo kamu ada masalah,cerita sama aku ya,sayang” jawab Gita yang berusaha menenangkanku

“Eh,aku gapapa kok. Cuma rada pusing aja.”

“Kalo gitu bentar lagi pulang deh. Kamu minum obat terus tidur.” Jawab Gita santai

“Enggak,gak usa,Gi. Palingan bentar lagi juga ilang. Hahaha”
Aku berusaha menenagnkan pikiran dan menenangkan diri. Aku harus berusaha untuk tetap tampil seperti orang sehat biasanya. Belakangan ini aku sering mengalami pusing di kepala. Sebetulnya aku tidak kuat lagi untuk tetap berjalan seharian penuh. Hingga suatu hari aku sempat pingsan tak sadarkan diri. Penyakit ini sepertinya sudah akan menenangkan jantungku. Aku sudah tak bisa apa-apa lagi,dan saat aku terbangun,tangan kiriku sudah berikatan dengan jarum infus. Papa mamaku tampak begitu sedih,aku yang setengah sadar bisa melihat mamaku menangis sambil berbicara dengan orang melalui telpon genggamnya.

“Iya,Gi. Kata dokter,Edo terkena kanker. Tante sama om juga gak nyangka kenapa bisa begini.” Jawab mamaku sambil terisak-isak tangis.
Aku kanker? Tidak mungkin,aku gak percaya sama kenyataan seperti ini. Aku kira ini hanya penyakit biasa. Aku gak mungkin kalah sama penyakit seperti ini. Aku kembali lemas,seakan semangatku sudah habis. Harapanku sudah pupus,pergi begitu saja.
3 minggu kemudian aku diperbolehkan keluar dari Rumah sakit tapi justru aku harus mendapat perawatan lagi di Rumah Sakit Jerman. Iya,aku gak salah dengar pernyataan papaku. Beliau menyuruhku untuk berobat disana. Yang aku pikirkan ialah bagaimana hubunganku dengan Gita? Komitmen serta harapan kita yang tumbuh dari kecil sekarang musnah dengan kenyataan semacam ini. Aku sangat terpukul melihat kenyataan seperti ini.

27 Mei 2015,Soekarno-Hatta Airport.

Ada perasaan sedih sekaligus kecewa dari dalam diriku. Perasaan ini tidak biasanya saat aku kembali ke tanah kelahiran ayahku. Kali ini berat rasanya untuk meninggalkan Indonesia menuju Jerman. Aku tidak tau lagi harus bagaimana. Kenyataan yang membawaku seperti ini. Aku bahkan belum berani memberi kabar kepada Gita tentang kepergianku ini. Sudah 2 minggu aku benar-benar lost contact sama dia. Hal ini dimaksudkan agari dia bisa terbiasa bila kelak aku sudah tiada. Tampak wajah mama papaku lemas,entah apa yang mereka pikirkan tapi aku tahu kalau muka kedua orang tuaku seperti ini pasti ada yang mereka sembunyikan.

“Pa,ma kenapa kok mukanya bingung gitu. Ada apa?” tanyaku singkat.

“Gapapa,Do. Nanti kalau udah di Jerman kamu mau kemana? Kita langsung temenin kamu jalan-jalan ya?” jawab papaku
Aneh. Itu yang ada dipikiranku. Bukannya tujuan awal aku kesini untuk melakukan perawatan tapi sekarang kenapa aku malah diajak jalan-jalan? Dan tiba-tiba disela lamunanku aku teringat,ketika aku tidak sadarkan diri di Rumah Sakit dokter bilang ke mamaku kalau umurku sudah tidak lama lagi. Tentu seketika aku menjadi tidak semangat untuk hidup. Harapanku yang pernah muncul dari kecil hingga menjadi besar tumbuh berasama Gita kini telah pupus. Susah menerima kenyataan,susah untuk merelakan tapi hidup inilah yang harus terus berjalan.

Ausburg,1 Juni 2015.
Terdengar isak tangis dari depan kamarku. Pagi ini tidak semestinya terjadi. Ini bukan suasana pagi yang biasanya. Dan aku menyadari aku sudah terbaring lemah diatas tempat tidur Rumah sakit,dengan kondisi tangan kiri kembali berikatan dengan jarum infus.

“Kita juga gak tau kalo akhirnya bakal kayak gini. Kita benar-benar ga ngira.” Mamaku berbicara sambil menahan tangis

“Kalau gitu aku bakal bantu tante. Kita. Aku,om,dan tante support Edo bareng. Aku tau Edo dulu orangnya terbuka banget sama aku. Tapi enggak sama penyakitnya ini.”
Tunggu. Aku mengenal suara itu. Itu seperti suara,Gita. Aku yakin dan tidak mungkin salah. Kemudian tangis mereka terhenti ketika aku tidak sengaja menggeser meja kecil disebelah ranjangku.

“Edo,lu udah bangun? Ini gue bawain makanan kesukaan lu jauh-jauh dari Indonesia. Di makan ya nanti.” Kata Gita sambil tersenyum
Seperti biasa senyum Gita selalu memberikan warna tersendiri bagiku. Setidaknya ini bisa menjadi obat penenang buatku sekarang ini.

“Kamu kapan dateng? Kok gak ngasih kabar?” jawabku jutek.

“Udah. Kemarin aku udah ngasih kamar mamamu. Aku hubungi kamu ga bisa.”
Kehadiran Gita memberiku motivasi untuk ingin cepat pulih dari sakitku ini meskipun persentase kesembuhanku kecil. Aku berusaha melawan penyakitku ini. Aku tidak ingin memupuskan harapan kedua orang tuaku dan juga Gita. Sesekali aku menatap kedua mata Gita. Dia berusaha menahan tangis,tampak matanya yang berkaca-kaca. Pagi-siang-malam dia habiskan waktunya hanya untuk merawatku di Rumah Sakit. Kami juga saling berbagi tawa. Dia membuatku lupa akan penyakitku ini. Sekali lagi aku bisa katakan,kehadirannya menjadi obat penenang bagiku. Hingga suatu malam aku berkata kepadanya,

“Gi,ntar kalo seandainya Tuhan udah jemput aku,kamu jaga diri baek-baek ya. Jangan pernah telat makan. Jaga kesehatan. Inget sama kuliahmu juga.”

“Maksud lu ngomong gini apa?!” jawabnya sambil emosi

“Aku tau umurku udah gak lama lagi. Dokter sendiri yang bilang. Sorry banget ya aku ga bisa buat kamu ketawa lagi. Sorry banget aku ga bisa denger-denger cerita serumu lagi. Kalo nanti aku udah gak ada,hal yang paling buat aku bahagia ialah ngeliat kamu bahagia.” Jawabku berusaha menenangkan.
Dan di saat itu juga aku melihat sendiri,di depan mata kepalaku sendiri. Brigitta Cynthia yang awalnya aku bilang jutek dan tomboy menangis di depanku. Entah aku harus berbuat apa.

“Kamu ga boleh bilang gitu! Aku dan mama papamu disini selalu support kamu. Kamu tega ningglain mereka dan ninggalin aku gitu aja? Lawan Do! Lawan penyakitmu itu” ucapnya sambil menangis.

“Aku juga udah berusaha ngelawan tapi kalo udah waktunya aku bisa apa,Gi?” jawabku sambil menghapus air mata dipipinya.
Tanganku terasa begitu hangat saat dia menggenggam tanganku. Mungkin ini terakhir kalinya aku merasakan genggaman tangannya. “Aku ga bisa lepas dari kamu,Do. Aku sayang banget sama kamu. Kamu jangan pernah ninggalin aku.”

“Ada atau gak ada aku hidup ini akan terus berjalan. Aku dan kamu awalnya punya kehidupan masing-masing. Kita pasti bisa saling melupakan dan melepaskan sama seperti saat kita belum mengenal satu sama lain” ucapku untuk menenangkan suasana.

“Ich Liebe Dich,Do! Aku sayang sama kamu!”
Entah mungkin itu kalimat sayang terakhir yang aku bisa dengar langsung dari mulutnya. Aku kaku dan tidak bisa apa-apa lagi. Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata yang diucapkan Gita



4 Juni 2015. 03.25 am

Suasana kamar itu penuh duka. Mulai dari kedua orang tua Edo serta Gita tak bisa henti menahan tangis. Mereka belum siap menghadapi kenyataan. Edo yang dulu selalu ada disamping mereka kini sudah pergi meninggalkan mereka selamanya. Edo yang selalu membuat kedua orangtuanya bangga,kini hanya menjadi sisa cerita. Edo yang selalu membuat Gita tertawa,kini hanya menyisakan duka. Edo berharap Gita selalu ingat kata-kata terakhirnya. Meskipun tidak ada Edo lagi di dunia ini,dunia ini akan tetap terus berputar dan waktu akan tetap terus berjalan. Mereka belajar bagaimana menerima kenyataan dan bisa menyimpan baik sebuah kenangan indah bersama Edo.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersyukur atas kegagalan??

Dongeng Sebelum Tidur

ALLAH MAHA PENCEMBURU